Isi Naskah Akademik Pembelajaran Mendalam (Deep Learning) 2025

Kherysuryawan.com - Naskah Akademik Pembelajaran Mendalam/Deep Learning.

Salam sejahtera untuk kita semua. Apakah anda masih ingat tentang kurikulum baru yang menggunakan pendekatan deep learning yang sering di gaungkan oleh bapak Menteri Dikdasmen. Nah, kini telah di rilis atau diterbitkan Naskah Akademik Pembelajaran Mendalam.

 


Di dalam naskah tersebut telah di jabarkan tentang apa itu Pembelajaran Mendalam, apa tujuan dari pembelajaran mendalam tersebut serta bagimana prinsip penerapannya di sekolah nantinya. Melalui artikel ini saya akan membahas tentang hal ini serta akan memberikan ulasan dari isi yang terdapat didalam naskah akademik pembelajaran mendalam.

 

Berikut ini ulasan dari isi yang ada di dalam Naskah Akademik Pembelajaran Mendalam/Deep Learning.

 

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia menghadapi berbagai tantangan masa depan yang menuntut persiapan yang sangat serius pada sektor pendidikan. Berbagai tantangan tersebut meliputi kehidupan masyarakat yang akan semakin kompleks, dinamis, tidak pasti, tak terduga dan ambigu yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada saat yang sama, kehidupan masyarakat akan semakin diwarnai keberagaman sehingga juga akan rentan konflik. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia saat ini perlu segera menyiapkan peserta didik agar mampu mandiri, mampu menghadapi tantangan, mengatasi rintangan, dan bahkan menjadi agen perubahan yang membawa kemaslahatan bagi masyarakat, bangsa, dan kemanusiaan. Generasi muda Indonesia perlu dididik agar ulet dan memiliki daya tahan tinggi dalam menghadapi tantangan dan mengatasi konflik, adaptif, serta memiliki pola pikir bertumbuh (growth mindset) agar cekatan memanfaatkan peluang, mampu menerima kritik, serta meyakini dirinya memiliki potensi dan bakat untuk berkembang.

 

Indonesia relatif telah berhasil meningkatkan akses pendidikan dasar dan menengah yang ditunjukkan dengan angka partisipasi kasar (APK) untuk jenjang pendidikan dasar (wajib belajar) yaitu SD 104,97% dan SMP yang mencapai 90,67% (BPS, 2024). Namun demikian, pendidikan di Indonesia saat ini masih harus menyelesaikan beberapa persoalan yang terkait dengan kualitas, antara lain masih rendahnya skor literasi membaca dan numerasi (literasi matematika) peserta didik Indonesia sebagaimana tercermin dalam hasil Programme for International Student Assessment (PISA). Data PISA menunjukkan bahwa literasi dan numerasi peserta didik Indonesia masih berada di bawah rata-rata peserta didik internasional (Matematika: 472, Sains: 485, Membaca: 476). Indonesia berada di peringkat 68 dari 81 negara dengan skor; matematika (379), sains (398), dan membaca (371) (OECD, 2023).

 

Momentum Bonus Demografi 2035 dan visi Indonesia Emas 2045 menjadi tantangan sekaligus peluang besar bagi sistem pendidikan di Indonesia. Pada periode tersebut, jumlah penduduk usia produktif (15–64 tahun) diprediksi mencapai puncaknya, memberikan peluang ekonomi yang signifikan bagi Indonesia jika mampu mempersiapkan tenaga kerja yang kompeten, kreatif, dan adaptif. Di sinilah peran pendidikan menjadi sangat strategis untuk memastikan peserta didik tidak hanya siap secara teknis, tetapi juga memiliki soft skills, karakter, dan kemampuan berpikir kritis yang menjadi kunci untuk memaksimalkan potensi demografi tersebut menuju visi Indonesia Emas 2045. Pendidikan dasar dan menengah di Indonesia harus secara cepat dan tepat menyiapkan generasi muda Indonesia yang kompeten untuk menyongsong masa depan. Diperlukan inisiatif dan upaya yang lebih kuat dan kreatif untuk mengakselerasi dampak pendidikan melalui berbagai pendekatan pembelajaran, yang salah satunya pendekatan Deep Learning yang selanjutnya akan disebut sebagai Pembelajaran Mendalam (PM).

 

B. Tujuan

Tujuan penyusunan naskah akademik PM meliputi sebagai berikut.

1.       Memberikan landasan bagi pengambilan kebijakan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) terkait penerapan PM di Indonesia.

2.       Menyediakan acuan bagi pengembangan program dan kegiatan untuk memastikan ketersediaan dan kecukupan sumber daya serta infrastruktur yang diperlukan dalam penerapan PM.

3.       Mendeskripsikan kerangka kerja strategis implementasi PM yang meliputi kerangka waktu dan distribusi tugas fungsi unit utama di lingkungan Kemendikdasmen.

 

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup naskah akademik tentang konsep dan implementasi PM di Indonesia yaitu sebagai berikut.

1.       Konsep akademik PM dengan prinsip pembelajaran berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan.

2.       Faktor pendukung yang perlu dipersiapkan untuk menerapkan PM dalam sistem pendidikan Indonesia pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah, terutama pada aspek infrastruktur, sumber daya manusia, dan kebijakan.

 

BAB 2 Landasan Pemikiran

A. Landasan Filosofis dan Pedagogis

Filosofi pendidikan memiliki peran fundamental dalam membangun sistem pendidikan yang berorientasi pada pengembangan manusia secara utuh. Filosofi ini menjadi landasan yang mengarahkan tujuan dan proses pendidikan agar senantiasa relevan dengan konteks sosial, budaya, dan tantangan zaman. Sebagaimana ditegaskan oleh John Dewey, pendidikan bukanlah sekadar persiapan untuk hidup di masa mendatang, namun juga merupakan kehidupan itu sendiri. Hal ini berarti pendidikan tidak hanya menjadi sarana transfer ilmu, tetapi juga alat untuk membangun masyarakat ideal yang mencerminkan nilai-nilai universal seperti kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan, dengan mengintegrasikannya ke dalam pengalaman hidup peserta didik. Para filsuf ternama seperti Dewey, Ausubel, Ornstein & Hunkins, hingga Ralph Tyler, menekankan pentingnya filosofi pendidikan dalam menciptakan sistem yang visioner dan dinamis. Filosofi ini merefleksikan cita-cita manusia dalam membangun masyarakat inklusif dan progresif. Dengan demikian, pendidikan tidak hanya menjadi sarana untuk memperoleh pengetahuan, tetapi juga sebagai instrumen transformasi sosial yang memungkinkan manusia terus berkembang seiring perubahan zaman.

 

Pendidikan juga harus bersifat transformatif, bermakna, dan berpihak kepada kelompok termarjinalkan. Romo Y.B. Mangunwijaya mengemukakan bahwa pendidikan harus menjadi jalan pembebasan melalui dialog lintas budaya dan pemahaman kontekstual. Dalam pendekatan ini, peserta didik tidak hanya menjadi penerima ilmu, tetapi juga aktor perubahan sosial yang aktif dalam menyelesaikan masalah nyata melalui refleksi dan kolaborasi. Prinsip ini sejalan dengan gagasan Ki Hajar Dewantara dan K.H. Ahmad Dahlan yang menekankan bahwa pendidikan harus relevan dengan kehidupan sosial, membangun masyarakat yang adil, dinamis, dan berbasis nilai.

 

Semangat saling memuliakan dalam lingkungan pendidikan, sebagaimana diajarkan oleh KH. M. Hasyim Asy’ari, berpusat pada penghormatan mendalam terhadap tiga elemen penting: guru, teman sejawat, dan sumber ilmu. Menghormati guru berarti mengakui peran mereka sebagai pendidik dan teladan, dengan mendengarkan, mematuhi, dan bersikap sopan. Menghormati teman sejawat menciptakan lingkungan yang kolaboratif, di mana semua pihak saling mendukung dan berbagi ilmu tanpa iri hati. Sementara itu, menghormati sumber ilmu mengajarkan pentingnya menjaga kesucian ilmu dengan memanfaatkannya untuk tujuan mulia dan tetap rendah hati dalam pencapaian intelektual sangat dianjurkan oleh KH. Ahmad Dahlan. KH. Ahmad Dahlan juga mengajarkan bahwa pendidikan yang memuliakan bertujuan untuk membangkitkan kesadaran sosial dan menumbuhkan semangat melayani sesama sebagai bentuk ibadah. Romo Y.B. Mangunwijaya menambahkan bahwa penghormatan terhadap martabat manusia, terutama kaum yang terpinggirkan, menjadikan pendidikan sarana pembebasan dan pemberdayaan. Senada dengan itu, Ki Bagus Hadikusumo menekankan pentingnya membangun integritas moral yang kokoh sebagai pondasi utama dalam memuliakan kehidupan bersama. Dengan fondasi ini, pendidikan tidak hanya menjadi wadah pembelajaran yang efektif tetapi juga membentuk karakter yang kuat, menumbuhkan nilai-nilai spiritual, serta menciptakan harmoni antara aspek intelektual, moral, dan spiritual dalam proses pendidikan.

 

PM menekankan bahwa pembelajaran bukan sekadar transfer ilmu, melainkan penciptaan suasana yang memuliakan peserta didik. Filosofi ini berlandaskan pandangan pendidikan holistik yang mengedepankan keseimbangan antara aspek intelektual, emosional, spiritual, dan fisik. Melalui pembelajaran berkesadaran, peserta didik diajak untuk hadir secara penuh dalam setiap aktivitas belajar. Pendekatan ini menegaskan pentingnya sinkronisasi antara pikiran, perasaan, dan tindakan, sebagaimana diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara melalui sistem among yang berbasis nilai asah, asih, dan asuh. Dengan kesadaran penuh, peserta didik diajak memahami bahwa belajar adalah proses refleksi mendalam yang melibatkan penerimaan terhadap keragaman perspektif dan komitmen untuk terus berkembang.

 

Suasana belajar yang menggembirakan merupakan prinsip utama PM, di mana pembelajaran dirancang agar bebas dari tekanan yang berlebihan dan penuh dengan antusiasme. Filosofi ini menggemakan prinsip Taman Siswa yang dicanangkan oleh Ki Hajar Dewantara, di mana kebebasan berekspresi, kenyamanan, dan motivasi intrinsik peserta didik dipupuk. Dalam suasana belajar yang menggembirakan ini, peserta didik termotivasi untuk mengeksplorasi ilmu pengetahuan dengan semangat dan keinginan mendalam, karena dilandasi oleh keamanan psikologis yang membebaskan mereka dari rasa takut dan memungkinkan mereka untuk berekspresi, berpikir kritis, dan berkreasi tanpa hambatan. Dimensi olah pikir dalam PM berfokus pada pengembangan kemampuan intelektual peserta didik melalui eksplorasi, eksperimen, dan inovasi. Pendekatan ini menekankan integrasi antara teori dan praktik untuk memotivasi pola pikir adaptif dan solusi kreatif. Dimensi olah hati dan olah rasa memperkuat nilai-nilai moral, etika, dan estetika, membentuk peserta didik yang berintegritas, berempati, dan berkomitmen terhadap keadilan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Ki Bagus Hadikusumo dan Romo Y.B. Mangunwijaya yang menekankan pentingnya pendidikan berbasis moralitas dan penghormatan terhadap martabat manusia.

 

B. Landasan Teoretis

1. Perkembangan PM

Penerapan PM dalam pendidikan dibagi menjadi tiga fase. Pada fase pertama pada tahun 1970-an istilah PM dikaitkan dengan teori PM dan teori pembelajaran dangkal (Marton & Säljö, 1976). Dalam fase ini ditemukan bahwa pengembangan kemampuan membaca teks dengan PM (memahami makna, menghubungkan ide, dan melihat pada konteks yang lebih luas) lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran dangkal (menghafal fakta yang tersurat dalam teks tanpa pemahaman mendalam baik secara konseptual maupun kontekstual) untuk pembelajaran jangka panjang dan pemecahan masalah. Pada fase kedua pada tahun 1990-2000-an pemikiran bahwa belajar adalah proses aktif membangun pengetahuan, yang dipengaruhi oleh teori konstruktivis Jean Piaget dan Lev Vygotsky, memperkuat gagasan tentang PM. Fase ini mempopulerkan metode pembelajaran berbasis proyek, kolaboratif, dan berbasis masalah. Dengan kebutuhan untuk menguasai Keterampilan Abad ke-21 dan memanfaatkan teknologi, PM mulai dikaitkan dengan pengembangan keterampilan berpikir kritis, kreativitas, dan pemecahan masalah. Semua ini juga telah diterapkan di Indonesia tetapi proses dan hasilnya masih jauh dari harapan. Pada fase akhir dalam era modern 2010 hingga saat ini dilakukan integrasi teknologi, teknologi pendidikan untuk mendukung PM dengan menggunakan simulasi, pembelajaran berbasis permainan, dan pembelajaran berbasis data. Paling mutakhir, PM mencakup isu-isu global, seperti keberlanjutan, literasi digital, dan pembelajaran sosial emosional. Singkat kata, penerapan PM pada konteks pendidikan lebih menekankan pada pemahaman mendalam oleh peserta didik dalam mengaplikasi pengetahuan dalam berbagai konteks.

 

2. Konsep PM

Pembelajaran Mendalam merupakan pendekatan untuk memperoleh pengetahuan baru secara efektif (Marblestone, Wayne, dan Kording, 2016). Pembelajaran Mendalam meliputi pemahaman dan keterkaitan hubungan antara pengetahuan konseptual dan prosedural serta kemampuan untuk mengaplikasi pengetahuan konseptual pada konteks yang baru (Hattie & Donoghue, 2016; Parker et al., 2011; Winch, 2017). Dengan demikian, pembelajaran diharapkan aplikatif dan bermanfaat dalam kehidupan peserta didik. Pemerolehan pengetahuan dilakukan melalui pembelajaran berbasis pengalaman. Pembelajaran berbasis pengalaman sebagai teori pembelajaran dikembangkan oleh David A. Kolb (1984) mendukung penerapan PM. Teori ini menekankan bahwa pembelajaran terjadi melalui pengalaman langsung yang melibatkan proses refleksi, konseptualisasi, dan eksperimen. Pembelajaran sebagai proses di mana pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman (Kolb, 1984).

 

3. Implementasi PM dalam Berbagai Konteks Pendidikan

Penerapan PM berimplikasi pada kurikulum, pembelajaran, dan asesmen. Salah satu negara yang mengimplementasikan kerangka kerja PM dalam kurikulum adalah Norwegia. Norwegia mulai mengimplementasikan PM pada kurikulum nasional untuk pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2017. Mereka melakukan reformasi yang konstan di mana konsep PM memainkan peran utama (Kovač, et al. 2023). Prinsip dasar kurikulum ini diintegrasikan pada kurikulum inti nasional dengan tema kemanusiaan, identitas, perbedaan kebudayaan, berpikir kritis, kepedulian lingkungan, demokrasi, dan partisipasi dalam masyarakat (Norwegian Directorate for Education and Training, 2021).

Pembelajaran Mendalam dalam seluruh struktur pendidikan adalah strategi untuk memperoleh pengetahuan dalam 1) respons terhadap perubahan global, 2) proses informasi yang baru, 3) teknologi baru, 4) pemaknaan pengetahuan yang baru dalam dunia yang kompleks (Norwegian Directorate for Education and Training, 2021). Keterampilan umum (generic skills) seperti berpikir kritis dan keterampilan penyelesaian masalah adalah kunci pada PM dan dapat digunakan untuk organisasi kurikulum. Salah satu tujuan utama reformasi kurikulum di Norwegia adalah pembelajaran harus relevan dengan teknologi baru, pengetahuan baru dan tantangan baru. Dengan demikian, peserta didik diharapkan tidak fokus pada belajar fakta-fakta (factual knowledge), namun pembelajaran yang bermakna, belajar untuk mengetahui cara belajar, mampu menggunakan pengetahuan pada situasi yang baru, dan memperoleh level metakognitif tertentu (Bråten & Skeie, 2020).

 

4. Prinsip Berkesadaran, Bermakna, dan Menggembirakan dalam PM

Pembelajaran Mendalam selalu dikaitkan dengan pemahaman dan aplikasi pengetahuan dalam berbagai konteks. Terkait dengan hal ini, seperti telah disebut sebelumnya, PM menerapkan prinsip pembelajaran yang berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan. Masing-masing berkontribusi dalam memberikan pengalaman belajar yang komprehensif dan mendalam.

 

C. Landasan Sosiologis

Secara sosiologis, hakikat pendidikan yang dimanifestasikan dalam proses PM sangat berkaitan erat dengan kepentingan nasional, terutama keberadaan dan kondisi bangsa yang majemuk terdiri atas berbagai suku, ras, budaya, dan bahasa, yang perlu dibangun menjadi bangsa yang maju dan berjati diri. Rumusan mencerdaskan kehidupan bangsa bermakna filosofis mendalam dan merupakan tujuan ke-3 dari kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Para pendiri bangsa mengamanatkan dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 bahwa bangsa Indonesia harus membangun kehidupan yang cerdas dan sempurna dalam menggunakan akal budinya di berbagai aspek kehidupan. Di samping itu, mencerdaskan kehidupan bangsa bukan hanya berarti cerdas sumber daya manusianya, melainkan seluruh aspek kehidupan bangsa baik menyangkut aspek budaya, sistem, dan lingkungan dalam cakupan yang luas yang menggambarkan kehidupan kebangsaan. Dari perspektif sosiologis, pembangunan pendidikan mesti diarahkan untuk mencapai kehidupan bangsa yang cerdas, yaitu kehidupan yang (1) sarat oleh perilaku warga yang mengandung kebajikan dan kemajuan bagi diri sendiri, masyarakat, dan bangsa serta kemanusiaan sebagai (a) amalan ajaran-ajaran agama yang dipeluknya dan nilai-nilai Pancasila, dan (b) penerapan Ipteks; (2) jauh dari perilaku destruktif/merugikan bagi diri sendiri, masyarakat, dan bangsa serta kemanusiaan; dan (3) didukung oleh kepedulian untuk mengajak kepada dan mempromosikan kebaikan dan keberanian untuk mencegah dan memerangi segala hal yang merugikan masyarakat, bangsa, negara, dan kemanusiaan; serta kehendak untuk tetap menjaga persatuan bangsa yang majemuk (Madya, 2010). Kehidupan cerdas yang demikian akan dicapai melalui pendidikan dan pembelajaran yang bermutu, yang mampu mengembangkan seluruh potensi peserta didik sehingga mencapai tingkat tertinggi daya intelektual, karakter moral dan karakter kinerja, dan kesamaptaan peserta didik. Semua ini memerlukan PM untuk mencapai penguasaan sejati pengetahuan bersama pengamalannya dalam memecahkan berbagai masalah kehidupan.

 

D. Landasan Yuridis

Landasan yuridis dimaksudkan menjadi dasar dalam menetapkan kebijakan pendekatan PM. Beberapa pemaknaan peraturan yang terkait dengan PM dijabarkan sebagai berikut.

1.       Pembelajaran Mendalam dan Dimensi Profil Lulusan

2.       Pembelajaran yang Berkesadaran, Bermakna, dan Menggembirakan

 

E. Landasan Empiris

Landasan empiris terkait dengan penerapan kebijakan-kebijakan pendidikan di Indonesia dan mancanegara yang relevan dengan PM dan prinsip pembelajaran yang berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan. Penerapan PM di Indonesia dikaitkan dengan pengembangan kompetensi dan prinsip pendekatan PM.

 

BAB 3 Kerangka Kerja Pembelajaran Mendalam

A. Dimensi Profil Lulusan

Pembelajaran Mendalam di Indonesia menghasilkan delapan dimensi profil lulusan peserta didik, sebagai berikut:

1.       Keimanan dan Ketakwaan terhadap Tuhan YME

2.       Kewargaan

3.       Penalaran Kritis

4.       Kreativitas

5.       Kolaborasi

6.       Kemandirian

7.       Kesehatan

8.       Komunikasi

 

B. Prinsip Pembelajaran

Prinsip pembelajaran menjadi landasan penting yang memastikan proses belajar berjalan efektif. Tiga prinsip utama yang mendukung PM adalah berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan. Ketiga prinsip ini saling melengkapi dalam membangun pembelajaran mendalam bagi peserta didik.

 

C. Pengalaman Belajar

Pembelajaran Mendalam memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik dengan memahami, mengaplikasi, dan merefleksi. Pengalaman belajar yang diciptakan proses yang dialami individu dalam memperoleh pengetahuan, keterampilan, sikap, atau nilai. Pengalaman ini terjadi di berbagai lingkungan, seperti di sekolah, tempat kerja, rumah, atau dalam kehidupan sehari-hari, dan melibatkan interaksi dengan materi pelajaran, guru, teman sejawat, atau lingkungan. Pengalaman belajar merupakan aktivitas yang diberikan guru dalam PM yang berkaitan dengan taksonomi SOLO (Structure of Observed Learning Outcomes) (Biggs & Collis, 1982) dan taksonomi Bloom (Anderson & Krathwohl, 2001). Taksonomi SOLO menggunakan kerangka berpikir yang dirancang untuk mengevaluasi dan memahami tingkat kompleksitas dalam pembelajaran siswa. Dikembangkan oleh John Biggs dan Kevin Collis pada tahun 1982, taksonomi ini membantu guru untuk menilai kualitas hasil belajar siswa berdasarkan tingkat pemahaman mereka terhadap suatu topik. Taksonomi SOLO mengklasifikasikan hasil belajar ke dalam lima tingkat hierarki, mulai dari pemahaman yang dangkal hingga yang lebih mendalam yaitu; (1). Prastruktural: Tidak memahami materi; (2). Unistruktural: Memahami satu aspek; (3). Multistruktural: Memahami beberapa aspek, tanpa menghubungkan; (4). Relasional: Menghubungkan berbagai aspek secara kohesif; (5). Berpikir abstrak yang mendalam: Menerapkan pemahaman dalam konteks baru.

 

D. Kerangka Pembelajaran

Kerangka pembelajaran merupakan panduan sistematis untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang mendukung pembelajaran. Fokus utama kerangka ini adalah mendorong pembelajaran yang bermakna, reflektif, dan kontekstual melalui praktik, lingkungan, dan kemitraan yang terencana. Penerapan PM tidak hanya bergantung pada pendekatan kognitif, tetapi juga melibatkan empat komponen penting yang saling mendukung dan membentuk pengalaman belajar yang holistik bagi peserta didik. Keempat komponen ini adalah praktik pedagogis, lingkungan pembelajaran, pemanfaatan teknologi digital, dan kemitraan pembelajaran.

 

BAB 4 Strategi Implementasi Pembelajaran Mendalam

A. Keterkaitan PM dengan Kurikulum, Proses Pembelajaran, dan Asesmen

Implementasi PM memerlukan penyesuaian kurikulum yang ada saat ini. Penyesuaian pada kurikulum yang diperlukan untuk menerapkan PM adalah terkait: 1) penajaman materi esensial mata pelajaran, 2) peningkatan keterlibatan belajar peserta didik, 3) pengurangan beban administrasi bagi guru, dan 4) pemanfaatan teknologi, informasi, komunikasi, dan digital. Dengan demikian, guru memiliki waktu yang cukup untuk mengembangkan berbagai aktivitas pembelajaran yang berorientasi pada profil lulusan. Penajaman materi mata pelajaran merupakan konsekuensi dari implementasi PMagar lebih berorientasi pada kedalaman pengetahuan dan kompetensi peserta didik. Dalam rangka menerapkan PM, struktur dan alokasi waktu mata pelajaran SD, SMP, SMA, SMK, dan yang sederajat perlu dievaluasi termasuk evaluasi berbagai pembelajaran kokurikuler dan ekstrakurikuler untuk penguatan soft skills, seperti Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), Kepramukaan, dan lain-lain. Selain itu, evaluasi juga perlu dilakukan terhadap beban administrasi guru, serta pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi digital yang saat ini sudah dilaksanakan.

 

Karakteristik kurikulum yang digunakan dalam implementasi PM adalah sebagai berikut.

1.       Dinamis, Fleksibel, dan Responsif

2.       Berpusat pada Peserta Didik

3.       Pembelajaran Terpadu

4.       Relevan dan Peduli dengan Kehidupan Masyarakat

5.       Pengembangan Keterampilan Tingkat Tinggi

6.       Pemanfaatan Teknologi Digital

 

B. Ekosistem Pendidikan

Implementasi PM perlu didukung ekosistem yang melibatkan berbagai elemen yang saling berinteraksi satu sama lainnya. Ekosistem pendidikan memberikan gambaran komprehensif tentang interaksi antar pemangku kepentingan untuk memastikan kebijakan PM diterapkan secara efektif. Salah satu elemen ekosistem penerapan PM adalah guru yang merupakan pusat dalam ekosistem tersebut. Peranan guru dalam ekosistem diuraikan sebagai berikut.

1.       Guru sebagai Pusat dalam Ekosistem Pendidikan

2.       Elemen ekosistem pendidikan

3.       Teknologi Digital dalam Ekosistem Pendidikan

 

C. Implikasi terhadap Regulasi

Penerapan PM sebagai sebuah pendekatan pembelajaran di Indonesia memiliki implikasi terhadap beberapa regulasi pendidikan. Salah satu implikasi utama penerapan PM yaitu kebutuhan untuk memperbaiki dan menyesuaikan regulasi yang ada, di antaranya adalah sebagai berikut.

1.       Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru

2.       Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah

 

D. Optimalisasi Peran Guru, Kepala Sekolah, Pengawas, dan Orang Tua

1. Optimalisasi Peran Guru

Peningkatan kapasitas guru dalam jabatan dilakukan melalui Program Profesi Guru (PPG) Dalam Jabatan dan pelatihan keprofesian berkelanjutan yang dilaksanakan dengan pendekatan PM secara terintegrasi. Dengan demikian, guru mendapatkan pengalaman nyata dalam mengimplementasikan PM dalam mata pelajaran. Peningkatan kapasitas guru prajabatan dilakukan melalui PPG Prajabatan maupun peningkatan kapasitas calon guru baru melalui pendidikan dan pelatihan terintegrasi dengan pendekatan PM yang aktual, kontekstual, monodisiplin dan/atau antardisipliner. Oleh karena itu, perlu dilakukan koordinasi dengan LPTK dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Calon peserta Pendidikan Profesi Guru (PPG) harus diseleksi secara nasional berdasarkan minat, panggilan jiwa untuk menjadi guru, dan kemampuan akademik yang tinggi. Seleksi calon peserta PPG menggunakan perangkat uji yang terstandar untuk mengukur kriteria dan kompetensi calon peserta.

 

2. Optimalisasi Peran Kepala Sekolah

Kajian tentang implementasi Kurikulum Merdeka dari aspek kepala sekolah menemukan beberapa persoalan terkait: rendahnya pemahaman terhadap kurikulum (PSKP, 2023; Suwardi, 2023; Dinanty dan Ramadhan, 2024), kesulitan melakukan pembinaan atau menggerakkan guru (Suwardi, 2023; PSKP, 2023), dan belum dimilikinya visi yang mendukung pembelajaran (PSKP, 2023).

 

3. Optimalisasi Peran Pengawas

Jumlah dan kualitas pengawas yang masih kurang (Nuramini, 2023), rentang kendali yang terlalu luas (Nuramini, 2023), serta keterbatasan jumlah dan ketersediaan pengawas di beberapa wilayah menyebabkan pengawas sering kali harus menangani terlalu banyak sekolah dampingan. Selain itu, pemahaman pengawas tentang cara memberikan pendampingan pembelajaran yang memadai bagi guru juga masih terbatas. Belum semua dinas pendidikan memberdayakan pengawas dalam proses implementasi kurikulum, dan masih terbatasnya penguatan kompetensi pengawas oleh dinas pendidikan (PSKP, 2023). Oleh karena itu, diperlukan revitalisasi secara signifikan terhadap status, fungsi, dan peran pengawas dan penilik. Revitalisasi tersebut dilakukan melalui program pemberdayaan yang mencakup peningkatan rasio pengawas terhadap satuan pendidikan, perbaikan seleksi pengawas, penyediaan deskripsi tugas yang jelas, peningkatan kualitas pendampingan, pendampingan dan pemantauan pelaksanaan tugas pengawas, penyediaan teknologi, komunikasi dan transportasi yang memadai.

 

4. Optimalisasi Peran dan Kontribusi Orang Tua, Masyarakat dan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat

Optimalisasi peran perlu dilakukan karena rendahnya kepedulian orang tua terhadap pendidikan anak yang rendah, rendahnya kemitraan sekolah dan orang tua, rendahnya kemitraan guru dan orang tua, kurang optimalnya peran dan kontribusi orang tua melalui komite sekolah terhadap program-program di sekolah. Oleh karena itu, perlu dilakukan penguatan kemitraan antara sekolah, orang tua, masyarakat, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Dalam rangka meningkatkan kapasitas guru, kepala sekolah, dan pengawas, tantangan utama yang dihadapi adalah terbatasnya sumber daya dan kebutuhan untuk memastikan pelatihan yang efektif di seluruh daerah. Oleh karena itu, penerapan alternatif sistem pelatihan yang inovatif sangat diperlukan. Pelatihan daring terstruktur, webinar, platform pembelajaran interaktif, dan sistem blended learning dapat menjadi solusi untuk menjangkau lebih banyak peserta didik dan pelaku pendidikan di berbagai daerah. Selain itu, pelatihan yang dilengkapi dengan pendampingan atau pembimbingan, program pelatihan berbasis komunitas dan pelatihan berbasis pengalaman, dapat memperkuat pembelajaran praktis dan keterampilan aplikatif. Pendampingan guru serta umpan balik harus dilakukan pada penerapan PM yang dilakukan oleh guru. Hal ini dilakukan dengan menerapkan tiga proses pengalaman belajar dalam PM yaitu mengetahui, menerapkan, dan merefleksi. Guru memperoleh pelatihan, selanjutnya diberikan kesempatan untuk menerapkan pengetahuan yang diperoleh di dalam konteks kelasnya, dan selanjutnya melakukan refleksi untuk perbaikan praktik pembelajarannya.

 

E. Tahapan Implementasi

Tahapan-tahapan implementasi PM meliputi: Evaluasi

1.       Sosialisasi PM kepada semua pemangku kepentingan.

2.       Identifikasi kebutuhan sumber daya dan kesiapan setiap pelaku untuk tiap jenjang, dengan luaran “dataset awal dan pelatihan rancangan dasar PM.”

3.       Uji coba pada lingkungan belajar nyata dengan jumlah terbatas, dengan luaran “rekomendasi awal.”

4.       Evaluasi hasil dan perbaikan sistem, dengan luaran “rancangan implementasi yang lebih akurat dan adaptif”.

5.       Penerapan PM secara luas, dengan luaran “bukti tingkat keberhasilan di sekolah.”

6.       Refleksi dan tindak lanjut untuk perbaikan selanjutnya.

 

F. Implementasi PM pada Jenjang Pendidikan

1.       Jenjang PAUD/RA atau yang Sederajat

2.       Jenjang SD/MI atau yang Sederajat

3.       Jenjang SMP/MTs atau yang Sederajat

4.       Jenjang SMA/MA atau yang Sederajat

5.       Jenjang SMK/MAK atau yang Sederajat

6.       Jenjang SLB (Sekolah Luar Biasa)

7.       Pendidikan Kesetaraan Nonformal

 

BAB 5 Rekomendasi

Pembelajaran Mendalam merupakan pendekatan yang memuliakan dengan menekankan pada penciptaan suasana belajar dan proses pembelajaran berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan melalui olah pikir, olah hati, olah rasa, dan olah raga secara holistik dan terpadu.

 

Dari hasil kajian PM, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah perlu untuk mengambil langkah-langkah strategis sebagai berikut:

  1. Penetapan PM dengan fungsi sebagai fondasi utama dalam peningkatan proses dan mutu pembelajaran.
  2. Penerapan PM pada setiap jenjang pendidikan perlu didukung oleh lingkungan pembelajaran yang kondusif, kemitraan pembelajaran yang luas dan bermakna, dan pemanfaatan teknologi digital yang efektif agar terwujud tiga prinsip PM yaitu berkesadaran (mindful), bermakna (meaningful), dan menggembirakan (joyful).
  3. Perubahan Profil Pelajar Pancasila yang terdiri atas enam dimensi menjadi Profil Lulusan dengan delapan dimensi, yaitu (1) keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) kewargaan, (3) penalaran kritis, (4) kreativitas, (5) kolaborasi, (6) kemandirian, (7) kesehatan, dan (8) komunikasi. Dimensi profil lulusan merupakan kompetensi utuh yang harus dimiliki oleh setiap peserta didik setelah menyelesaikan proses pembelajaran dan pendidikan. Hal ini untuk memenuhi tujuan pendidikan nasional dan tuntutan keterampilan abad ke-21.
  4. Penyelarasan antarperaturan perundang-undangan terkait dengan standar nasional pendidikan, kurikulum, buku teks pelajaran, proses pembelajaran, dan asesmen.
  5. Perlu pengurangan beban mengajar dan penetapan alokasi waktu untuk materi interdisipliner agar implementasi PM dapat berjalan secara efektif. Sehubungan dengan hal tersebut, kewajiban mengajar 24 jam bagi guru tidak hanya mencakup kegiatan tatap muka dalam kelas akan tetapi juga kegiatan-kegiatan lain di luar kelas yang mendukung penerapan PM. Hal ini membutuhkan penataan ulang materi esensial dalam Capaian Pembelajaran. Dengan demikian, guru mampu mengimplementasikan PM dengan baik.
  6. Penataan ulang materi esensial dalam Capaian Pembelajaran untuk mendukung optimalisasi implementasi PM.
  7. Peningkatan kompetensi guru melalui program pelatihan terintegrasi, pendampingan, atau pembimbingan tentang pendekatan PM agar mampu menerapkan pendekatan PM dalam proses pembelajaran aktual, kontekstual, monodisiplin dan/atau interdisipliner.
  8. Calon peserta Pendidikan Profesi Guru (PPG) diseleksi secara nasional berdasarkan minat, panggilan jiwa untuk menjadi guru, dan kemampuan akademik yang tinggi.
  9. Penyelenggaraan PPG dan pelatihan guru lainnya dilakukan dengan menggunakan pendekatan PM.
  10. Kurikulum PPG perlu mencakup materi bimbingan konseling, pendidikan nilai, dan pola pikir bertumbuh (growth mindset).
  11. Pengembangan program guru mentor di setiap klaster satuan pendidikan yang memiliki tanggung jawab untuk pengembangan profesionalisme guru di wilayah yang menjadi tugasnya. Selanjutnya juga diperlukan pengembangan dan pemberdayaan komunitas belajar intrasekolah, antarsekolah, dan berbagai bentuk komunitas belajar seperti MGMP dan KKG sebagai wadah bagi para guru untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang penerapan PM. Aktivitas ini bisa dilakukan melalui forum daring, luring, atau kelompok diskusi di tingkat sekolah atau wilayah yang memungkinkan guru berbagi kiat, pengalaman, dan solusi masalah belajar. Keberadaan komunitas belajar yang sudah ada perlu dibina agar makin berkembang dan berkontribusi.
  12. Pemanfaatan dan penguatan elemen dalam ekosistem untuk satuan pendidikan dengan melibatkan para pemangku kepentingan yang mencakup antara lain satuan pendidikan, masyarakat dan DUDIKA, mitra profesi, dinas pendidikan, media, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, dan pihak lain yang relevan. Demikian juga perlu peningkatan kemitraan sekolah dengan orang tua peserta didik dan masyarakat agar terjadi koherensi sistem nilai yang diajarkan dengan pendekatan PM di sekolah dan praktik kehidupan keluarga dan masyarakat.
  13. Penyiapan dan peningkatan kapasitas kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya belajar dan budaya mutu sehingga memudahkan bagi guru untuk menerapkan PM secara kreatif dan inovatif.
  14. Peningkatan kapasitas supervisi pengawas sekolah dalam proses pendampingan, pembinaan, dan pengembangan kompetensi guru untuk menjamin implementasi dan keberlangsungan PM di satuan pendidikan.
  15. Penyusunan Buku Guru dan Buku Siswa. Bagi guru perlu disusun Buku Guru berisi bahan, materi, dan substansi acuan pembelajaran dan Buku Panduan Pembelajaran yang aktual, relevan, kontekstual, monodisiplin dan/atau interdisipliner. Bagi peserta didik perlu disusun Buku Siswa yang menarik dan memandu dalam melaksanakan pembelajaran dan penggunaan strategi yang mendukung PM.
  16. Pemanfaatan teknologi digital dalam implementasi PM di sekolah yaitu perlu ditingkatkan pemanfaatan berbagai teknologi digital untuk peningkatan mutu pembelajaran, perencanaan dan pengelolaan pembelajaran, perluasan akses dan penyediaan sumber belajar, pelaksanaan asesmen, pemberian umpan balik, pengayaan, peningkatan interaksi dan kolaborasi dengan mitra belajar, dan pengembangan ekosistem pendidikan.
  17. Pengembangan asesmen formatif dan sumatif dengan penekanan pada asesmen otentik dan holistik. Asesmen formatif memberikan umpan balik selama proses pembelajaran, sementara asesmen sumatif dilaksanakan untuk mengetahui capaian pembelajaran secara menyeluruh. Asesmen juga perlu dilaksanakan dalam skala nasional pada setiap jenjang pendidikan dasar dan menengah yang berfungsi untuk sertifikasi peserta didik, pemetaan mutu pendidikan, dan pertimbangan seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun tidak menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. Capaian pembelajaran harus memenuhi Standar Nasional Pendidikan yang dirumuskan oleh badan mandiri sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
  18. Penyusunan pedoman implementasi PM secara bertahap untuk memastikan hasil yang optimal serta untuk menetapkan tahapan monitoring dan evaluasi berikutnya.
  19. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah perlu memastikan agar implementasi program dan kegiatannya tidak mengganggu pelaksanaan PM di satuan pendidikan.

 

Rekomendasi tersebut di atas dilaksanakan oleh masing-masing unit utama di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah sesuai tugas dan fungsinya.

 

Demikianlah informasi lengkap mengenai isi dari Naskah Akademik Pembelajaran Mendalam (Deep Learning). Semoga apa yang telah di paparkan melalui artikel ini bermanfaat bagi seluruh sahabat pendidikan dimanapun berada sehingga bisa menjadi dasar dalam menerapkan pembelajaran berbasis deep learning di sekolah masing-masing.

0 Response to "Isi Naskah Akademik Pembelajaran Mendalam (Deep Learning) 2025"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel